Bagaimana Milenial Mendisrupsi Tempat Kerja?

Bagaimana Milenial Mendisrupsi Tempat Kerja?

Sebagai angkatan kerja, milenial memiliki nilai-nilai dan perilaku kerja yang sama sekali berbeda dengan generasi sebelumnya.

Beberapa survei menyebutkan bahwa milenial adalah generasi yang hyper-connected oleh adanya internet, minta diperhatikan dan didahulukan (entitled), malas (“lazy generation”) karena dengan digital semuanya menjadi mudah, tidak fokus karena gampang terdistraksi, dan yang menjadi keluhann banyak bos: mereka tidak loyal pada perusahaan.

Tak heran jika milenial berpotensi mendisrupsi tempat kerja. Maksudnya, ketika budaya, sistem, dan lingkungan kerja di perusahaan tidak bisa mengakomodasi nilai-nilai dan perilaku kerja baru mereka maka perusahaan menjadi tak relevan lagi.

Berikut ini adalah lima tren yang membuat milenial menjadi ancaman serius bagi perusahaan sebagai tempat kerja.

From “Paycheck” to “Passion”
Tentu saja milenial bekerja untuk mencari uang, tapi di atas itu, mereka bekerja untuk mengekspresikan passion dan mengaktualisasikan life purpose. Itu sebabnya bekerja dari pagi hingga petang bahkan malam hari bagi mereka harus bisa menciptakan makna yang bernilai bagi hidup mereka.

Bekerja tak hanya untuk mendapatkan gaji bulanan atau mengejar karir, tapi juga untuk menghasilkan kontribusi yang bermakna bagi keluarga, masyarakat, negara, bahkan umat manusia.

Karena itu berbeda dengan generasi sebelumnya, bagi milenial bekerja di perusahaan startup yang masih baru dan fresh seperti Traveloka atau Gojek lebih bernilai dibandingkan bekerja di perusahaan besar dan mapan seperti Astra atau Citibank.

Kenapa? Karena bekerja di Traveloka atau Gojek, mereka merasa ikut ambil bagian dan berkontribusi dalam merevolusi industri pariwisata dan transportasi. Bagi mereka bekerja di Traveloka atau Gojek lebih cool.

“For millennials, compensation is important and must be fair, but it’s no longer the driver.”

From “Job” to “Life”
Angkatan kerja milenial mulai menyadari bahwa sebagian besar waktunya dihabiskan untuk bekerja. Karena porsi terbesar waktu mereka untuk bekerja, maka konsekuensi logisnya tak ada lagi batas demarkasi antara kerja dan hidup. Bekerja adalah bagian inheren dari hidup mereka.

Karena itu perusahaan harus bisa menciptakan tak hanya “work environment” tapi juga “playing environment” dan “living environment” di kantor. Kenapa? Karena milenial menuntuk work-life balance yang lebih manusiawi. Tak heran jika tempat kerja banyak starup kini memiliki format bersuasana rumah (homy) dimana “work, play, live” berjalan seiring.

Kini muncul tren di dunia apa yang disebut “digital nomad lifestyle” atau “workcation” yaitu gaya hidup baru yang menggabungkan bekerja, hidup berpindah-pindah, sekaligus liburan. Bali kini dikenal sebagai salah satu “workcation hub” dunia.

For millennials, a job is no longer just a job…
it’s their life as well. 

From “Satisfaction” to “Growth”
Berbeda dengan generasi sebelumnya, kini angkatan kerja milenial tak hanya menuntut kepuasan kerja (job satisfaction), lebih dari itu mereka mengingkan pengembangan diri (personal growth).

Mereka menuntut tak hanya berbagai paket benefit mulai dari gaji, bonus, kantin gratis, atau lingkungan kerja yang fun. Itu hanya jangka pendek. Yang lebih sustainable, mereka menuntut perusahaan mampu mengembangkan diri mereka dengan terus mendongkrak knowledge, skill, dan attitude.

 

From “8 to 5” to “Flexibility”
Rumah di Depok, kantor di Sudirman-Thamrin. Karena Lenteng Agung dan Pasar Minggu macet minta ampun, maka untuk sampai di kantor jam 8 maka terpaksa berangkat dari rumah lepas subuh. Bolak-balik rumah-kantor bisa 5-6 jam dihabiskan di jalan.

Ini adalah kondisi yang tidak manusiawi sekaligus tidak produktif. Karena itu milenial menolaknya. Milenial menginginkan fleksibilitas dalam bekerja. Bekerja di manapun dan kapanpun bisa asal kinerja yang dikehendaki tetap tercapai. Kini mulai muncul tren “remote workers”, “flexible worker”, “flexi job”, dan “gig economy”.

Deloitte memperkirakan, saat ini “remote worker” (pekerja yang tak lagi bekerja secara penuh di kantor) sudah mencapai 39% dari total pekerja penuh-waktu, dimana 15% dari angka tersebut bekerja di rumah (home full-timer). Angka ini akan terus bertambah seiring banyaknya milenial yang memasuki angkatan kerja.

Karena itu kini perusahaan mulai menerapkan flexitime (flexible working schedule) atau menginisiasi konsep “satelite office”, konsep kantor di pinggiran kota, sehingga milenial tak perlu ngantor di pusat-pusat kota dan waktu mereka efisien.

92% of Millennial workers say flexibility is a top priority.” Deloitte study 

From “Boss” to “Coach”
Angkatan kerja milenial tak mau dipimpin oleh pimpinan yang bossy. Ia menuntut pimpinannya berperan sebagai coach. Pola kepemimpinan bergeser dari “command & control” ke “conversations & coaching”.

Ini artinya, si pemimpin harus melakukan engagement yang intens dan terus menerus. Pimpinan harus membimbing dengan intens dan memberikan masukan-masukan saat itu juga (instant feedback).

Bagaimana kalau para bos tak mampu menempatkan dirinya sebagai coach? Dengan enteng para pekerja milenial akan resign. Ingat, mereka adalah tipe pekerja yang tidak loyal, yang begitu mudah menjadi kutu loncat dari satu perusahaan ke perusahaan berikutnya.

Millennials don’t want annual reviews…
they want ongoing conversations

Satu dekade ke depan, sekitar 75% angkatan kerja di dunia akan diisi oleh milenial. Dengan porsi yang besar tersebut, maka mau tak mau setiap perusahaan harus bisa mengakomodasi pergeseran-pergeseran besar di atas.

Kalau tidak maka perusahaan menjadi tidak relevan lagi. Dan akan menjadi korban disrupsi milenial.

Personal Branding Matters

Personal Branding Matters

Inilah kesalahan terbesar CEO, manager, dan biz owner UKM, yaitu tidak mensinergikan personal branding dengan business branding usahanya. Lalu bagaimana…

The Birth of Leisure Economy

The Birth of Leisure Economy

E-book ini mengulas mengenai kondisi bisnis Indonesia yang mulai mengalami pergeseran konsumsi masyarakat secara pelan tapi pasti. Terdapat 3 pembagian…

The Dark Global Economy, The Brigth Local Champions

The Dark Global Economy, The Brigth Local Champions

Tahun 2023 akan menjadi tahun yang penuh tantangan dan harapan baru yang ditandai oleh 3 change drive seperti disrupsi pasca-pandemi,…

Welcome The Age of FOMO Marketing

Welcome The Age of FOMO Marketing

Pernahkah kamu memantau situs penjualan tiket (hingga berjam-jam) untuk dapat menonton konser idolamu? Atau, apakah kamu seorang yang selalu mengecek…

The Rise of Ecosystem Selling

The Rise of Ecosystem Selling

Di era digital, penjualan B2B (business to business) tidak bisa lagi dilakukan ke konsumen secara individual (satu-persatu), tapi menggunakan pendekatan…