Beat the Giant Matrix
Matriks yang menggambarkan empat pilihan strategi brand nasional/lokal dalam menghadapi persaingan dari pemain-pemain global.
Matriks yang menggambarkan empat pilihan strategi brand nasional/lokal dalam menghadapi persaingan dari pemain-pemain global.
Merek lokal Indonesia harus bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Karena itu mereka harus membangun daya saing baik di pasar domestik maupun di pasar global. Bagaimana caranya?
Matriks ini menggambarkan posisi dan strategi yang bisa ditempuh merek lokal dalam menghadapi merek global baik di pasar domestik maupun berekspansi ke pasar global. Langkah tersebut digambarkan dalam bentuk sebuah matriks 2×2 seperti terlihat pada gambar.
Matriks ini tersusun dari dua parameter yang terwakili oleh sumbu vertikal dan horisontal. Parameter pertama (di sumbu vertikal) mencerminkan tingkat kepemilikan terhadap keunggulan lokal (local advantages).
Local advantages ini bisa bermacam-macam bentuknya, seperti: pengetahuan mendalam terhadap pasar lokal; kompetensi lokal yang unik; pemahaman terhadap karakteristik budaya lokal; relasi bisnis yang unik dengan partner lokal; dan sebagainya.
Di sini merek lokal dapat kita petakan menjadi dua jenis yaitu pemain dengan keunggulan lokal yang tinggi (high local advantage) dan rendah (low local advantage).
Parameter kedua (di sumbu horisontal) mencerminkan kemampuan merek lokal dalam mencapai kapasitas (di bidang manajemen, keuangan, teknologi, dll.) yang setara dengan perusahaan global (biasa disebut “global best practice”).
Merek lokal yang sudah memiliki kapasitas global best practice tinggi, artinya mereka sudah memiliki modal dan teknologi yang menyamai merek global atau menjalankan praktik manajemen modern seperti menerapkan Balanced Scorecard, pengelolaan SDM berbasis kompetensi (competency–based HRM), atau mengadopsi modern brand management dalam pengelolaan produk.
Dengan mengacu matriks tersebut maka kita dapat memetakan empat jenis merek lokal berikut strategi generik yang harus mereka kembangkan dalam menghadapi merek global di pasar domestik. Coba kita lihat satu-persatu.
adalah merek lokal yang tidak memiliki local advantage maupun kemampuan mencapai global best practices yang kokoh. Merek lokal di posisi ini umumnya dikelola secara tradisional dan produknya tidak memiliki keunikan lokal.
Karena itu mereka dihadapkan pada pilihan pelik untuk menyingkir (flank) dalam menghadapi merek global dan mencari niche market di mana ia masih bisa menguasainya.
Jadi, merek lokal di posisi ini harus membangun keunggulan di pasar-pasar yang diabaikan oleh merek-merek global.
adalah merek lokal yang memiliki keunikan lokal tapi masih dikelola secara tradisional sehingga tidak mampu menyamai merek global dalam hal manajemen, teknologi, keuangan, dll.
Pemain lokal seperti Martha Tilaar, Hotel Santika, Batik Keris, Viva, Pegadaian, Khong Guan, dll. ada di posisi ini. Pilihan strategi yang bisa mereka ambil adalah membangun keunggulan bersaing melalui keunggulan lokal yang dimilikinya.
adalah pemain lokal yang by–default tidak memiliki keunikan lokal, tapi memiliki kapasitas manajemen, teknologi, dan keuangan sejajar dengan merek-merek global.
Pemain-pemain lokal seperti Polygon, Polytron, Telkom, Pertamina Pelumas, Biofarma, Semen Gresik, Bank Mandiri ada di posisi ini. Pilihan strategi yang bisa mereka ambil adalah terus mengejar kapasitas global best practices dan kalau perlu membangun daya saing dengan masuk ke pasar-pasar regional/global.
adalah pemain yang memiliki keunikan lokal, sekaligus memiliki kapasitas setara dengan global best practices. Pemain-pemain lokal seperti Garuda Indonesia, BRI, Sosro, BCA, Indomaret, Alfamart, Indofood, atau Garuda Food ada di posisi ini.
Merek-merek lokal di posisi ini paling siap dalam menghadapi merek global secara head–to–head dengan cara membangun local differentiation.