Middle-Class Consumer Segmentation
Model yang memetakan 8 jenis konsumen kelas menengah Indonesia yang disusun berdasarkan 3 parameter yaitu tingkat kepemilikan sumberdaya, tingkat pengetahuan, dan tingkat keterhubungan sosial.
Model yang memetakan 8 jenis konsumen kelas menengah Indonesia yang disusun berdasarkan 3 parameter yaitu tingkat kepemilikan sumberdaya, tingkat pengetahuan, dan tingkat keterhubungan sosial.
Model segmentasi ini mencoba memotret wajah konsumen kelas menengah Indonesia yang berkembang pesat sejak dekade 2010an.
Kami menggunakan tiga dimensi segmentasi untuk memetakan nilai-nilai, sikap, dan perilaku, dan gaya hidup konsumen, yaitu: tingkat kepemilikan sumber daya (ownership of resources), tingkat pengetahuan dan wawasan (knowledgeability), dan tingkat keterhubungan sosial (social connection).
Dimensi pertama, ownership of resources, menggambarkan tingkat sumber daya yang dimiliki terutama sumber daya finansial yang mempengaruhi kemampuan daya beli dan konsumsi terhadap berbagai barang dan jasa.
Besar kecilnya sumber daya yang dimiliki seseorang mencerminkan tingkat hidup (standard of living).
Dimensi kedua, knowledgeability, menggambarkan tingkat pengetahuan, wawasan, keterbukaan pikiran, adopsi informasi dan teknologi, visi dan tujuan hidup (vision and sense of purpose), penerimaan terhadap modernisasi dan nilai-nilai universal, dan lain-lain.
Meningkatnya pengetahuan dan wawasan melalui pendidikan secara mendasar akan mendorong keterbukaan intelektual (intellectual openess), fleksibilitas, dan keluasan pandangan yang pada gilirannya akan mendorong terbentuknya nilai-nilai kemandirian (self-direction values).
Dengan menggunakan tiga dimensi segmentasi di atas, kami mencoba memotret wajah kelas menengah kita.
Seperti tampak pada bagan model, dimensi pertama ownership of resources mewakili sumbu diagonal; dimensi kedua knowledgeabiliy mewakili sumbu vertikal; sementara dimensi ketiga social connection mewakili sumbu horizontal.
Hasilnya adalah delapan sosok konsumen yang secara tuntas akan dibahas di dalam buku ini.
Dimensi ketiga, social connection, menggambarkan tingkat keterhubungan seseorang dengan lingkungan sosialnya. Lingkungan sosial ini mencakup unit yang paling kecil yaitu keluarga dan tetangga, lingkungan masyarakat yang lebih luas seperti negara, hingga lingkungan masyarakat global/universal.
Dimensi ini mencerminkan seberapa besar seseorang mempengaruhi dan dipengaruhi lingkungan sosialnya.
adalah kalangan profesional dan entrepreneur yang memiliki ambisi luar biasa untuk membangun kompetensi diri. Mereka adalah self–achiever yang menggunakan kompetensi dan ketrampilan sebagai alat untuk mendongkrak tingkat ekonomi.
Karena itu mereka selalu meng-update informasi, mengadopsi teknologi, dan terus belajar untuk meng-improve diri. Karena memegang informasi dan teknologi, mereka cenderung melihat persaingan (dengan rekan-rekan kerja) secara positif.
Performer lebih selfish dengan misi hidup mencapai kebebasan keuangan (financial freedom). Ya, karena mereka belum puas dengan tingkat kehidupan ekonomi saat ini.
adalah performer yang sudah mapan dan cukup puas dengan kondisi ekonomi saat ini. Mereka juga open mind terhadap globalisasi dan dan mengadopsi nilai-nilai universal. Karena sudah merasa cukup, maka orientasi hidup mereka tidak lagi selfish.
Ia mulai memikirkan hal-hal di luar dirinya: mulai peduli dengan anggota DPR yang hobi korupsi; mulai peduli pesawat kok jatuh melulu; mulai peduli dengan pemanasan global atau hutan Kalimantan yang dibabat habis.
Ia punya harapan menjadi influencer bagi masyarakat, lingkungan, dan negaranya. Jadi tidak benar, seluruh kelas menengah Indonesia itu acuh tak acuh terhadap negaranya.
adalah para pegawai pabrik (blue collar), salesman, supervisor, dan sebagainya yang berupaya keras membanting-tulang untuk menaikkan status ekonominya. Harapan utama mereka adalah mendongkrak karir dan menaikkan taraf kehidupan
menjadi lebih baik.
Karena umunya masih mengawali karir, mereka masih suka pindah-pindah kerja (job–hunter), risk–taker dalam karir, dan cenderung melihat bahwa “career is a journey”. Seperti halnya Expert, mereka memiliki sedikit waktu luang karena pagi-pagi harus berangkat ke kantor atau pabrik dan lepas Magrib baru bisa pulang ke rumah dalam kondisi capek.
Umumnya mereka memiliki family–values yang tinggi dan bekerja keras melulu untuk keluarga. Karena itu mereka adalah sosok “hero of their family”.
kebanyakan adalah profesional di berbagai bidang mulai dari dokter, arsitek, konsultan, atau pengacara yang selalu berupaya menjadi ekspert di bidang yang digelutinya. Setiap hari mereka sibuk menekuni bidang profesinya dari pagi hingga larut malam.
Dokter yang sudah laku misalnya, harus mengurusi pasien-pasiennya dari pagi hingga dini hari. Hidupnya cenderung rutin dan monoton, tapi mereka menikmatinya, karena semua pekerjaan itu dilakukan dengan passionate.
Karena “tertawan” oleh pekerjaan, mereka tidak memiliki cukup waktu luang untuk anak-anak, jalan-jalan di mal, atau menghadiri acara-acara keluarga/kerabat. Karena itu lingkungan pergaulan mereka juga terbatas, melulu di lingkungan profesinya. Intinya, “their life is their career”.
umumnya adalah kalangan muda (SMA dan kuliah) yang membutuhkan panutan (role model) untuk menemukan dan menunjukkan eksistensinya. Kenapa butuh panutan? Ya karena mereka masih mencari jati diri, belum punya banyak pengalaman, dan wawasannya masih terbatas (short-term vision, less sense of purpose).
Mereka adalah generasi galau (ababil: “ABG labil”). Karena hal ini pula, tangible aspect seperti tampilan fisik, kepemilikan barang mahal, atau citra diri menjadi sesuatu yang penting. Bagi mereka teman adalah segalanya (friends are everything) dan diterima di lingkungan teman merupakan sesuatu yang penting untuk menunjukkan eksistensi mereka.
Koneksi dengan teman (connecting with friends) mereka lakukan melalui media sosial seperti Facebook dan Twitter.
memiliki daya beli yang lebih tinggi (more resources) dibanding follower. Karena lebih mampu, mereka ingin menjadi panutan dalam gaya hidup (peripheral lifestyle) seperti fesyen, gaya selebriti, gadget, dan sebagainya) bagi teman-temannya.
They are victim of trends. Mereka menemukan eksistensinya ketika diikuti dan menjadi center of attention di lingkungan teman-temannya. Untuk bisa terus mengikuti tren dan isu-isu terbaru, mereka aktif berkoneksi di lingkungan teman-temannya menggunakan Facebook atau Twitter.
Dengan karakteristik seperti itu, tak diragukan lagi bahwa mereka adalah orang-orang narsis (narcissist) dan cenderung self–centered.
adalah sosok yang tidak puas dengan tingkat kehidupan ekonominya saat ini, namun mereka tak tahu harus bagaimana untuk merubahnya. Karena tingkat pendidikan dan pengetahuan yang terbatas, mereka cenderung kurang meng-update informasi dan mengadopsi teknologi sehingga wawasan dan visi hidupnya terbatas.
Dengan keterbatasan itu, hidup mereka cenderung pasrah dan mengalir (flow) di tengah perubahan kehidupan (teknologi, informasi, sosial, politik, dsb) yang cepat dan bergolak. Keluarga dan (terutama) anak adalah aset terbesar yang mereka miliki.
Di tengah pergolakan hidup yang cepat pegangan mereka hanya satu, yaitu keyakinan agama (high spiritual values). Karena itu mereka cenderung menyeimbangkan kehidupan dunia dan akhirat.
adalah Flow-er yang sudah memiliki kemapanan hidup. Sosok ini merintis warung atau punya lahan luas hasil warisan yang menghasilkan sumber keuangan cukup besar bagi kehidupan ekonomi. Mereka tidak lagi memiliki keresahaan hidup dari sisi ekonomis.
Hanya saja, berbeda dengan Aspirator atau Performer, mereka bukanlah sosok yang knowledgeable, bisa jadi cuma lulus SD atau SMP. Karena tingkat pengetahuan yang terbatas, maka mereka cenderung memegang nilai-nilai tradisional dan fobia terhadap perkembangan informasi, teknologi, dan globalisasi.
Karena sudah puas dengan sukses yang dicapai saat ini, mereka cenderung tidak belajar dan mengembangkan diri. They are at the comfort zone.