New Omni Marcomm

Kerangka kerja konseptual yang bisa menjadi panduan bagi para marketer dalam melakukan strategi komunikasi pemasaran di era pandemi

Pandemi telah mengubah lanskap komunikasi pemasaran sehingga paradigma dan strateginya pun harus diredefinisi.

 

Pemicunya, pandemi telah mempercepat migrasi konsumen ke ranah digital, sehingga konsumen makin banyak menggunakan channel digital (“screen“) walaupun tidak serta-merta meninggalkan channel fisikal (“space“).

 

Lebih jauh lagi konsumen mulai menuntut “batas” antara ranah fisikal dan digital semakin nir-hambatan (seamless). Karena itu perusahaan dituntut harus mengembangkan bauran channel fisikal-digital yang seamless pula untuk menghasilkan pengalaman konsumen terbaik.

 

Untuk mewujudkannya, setidaknya ada 3 langkah yang harus dilakukan. Langkah pertama, memetakan perjalanan konsumen (consumer journey) dalam menjangkau brand. Langkah kedua, mengetahui perilaku dan karakteristik konsumen di tiap-tiap titik persentuhan (touchpoint) di sepanjang consumer journey tersebut. Langkah ketiga, memberikan pesan (story) dan aktivasi (brand activation) yang relevan di masing-masing touchpoint tersebut.

 

Mari kita cermati langkah pertama, yaitu memetakan consumer journey.

Consumer Journey Mapping

Kami memetakan consumer journey ke dalam 7 fase: Discover-Consider-Research-Decide-Experience-Loyal-Share. Empat perjalanan yang pertama kami sebut “Audience Safari” dan tiga fase berikutnya disebut “Customer Safari”. Yang pertama belum menjadi pelanggan, sementara yang kedua sudah onboard menjadi pelanggan.

Discover merupakan tahap awal dalam consumer journey dimana konsumen untuk pertama kalinya mengetahui (aware) terhadap brand. Di mana konsumen pertama kali tahu brand? Bisa bermacam-macam. Bisa dari billboard di pinggir jalan atau di kantor cabang bank (“space“). Tapi bisa juga dari website perusahaan, dari mobile apps, atau dari status update teman di Facebook (“screen“).

Setelah konsumen tahu brand maka selanjutnya konsumen akan memasuki tahapan Consider. Pada tahapan ini konsumen mulai memiliki intensi untuk membeli. Konsumen mulai tertarik kepada brand terlebih jika mereka sangat membutuhkan. Karena membutuhkan, maka konsumen akan mulai mencari dan mengumpulkan berbagai informasi seputar brand. Selanjutnya, consumer journey memasuki tahapan Research.

Pada tahapan research, konsumen mulai menggali informasi seputar brand secara mendalam dan mencocokkan dengan keinginan dan kebutuhannya. Tak cukup sampai di situ, konsumen juga mulai membandingkannya dengan kompetitor terkait keunggulan produk dan sesuai tidaknya dengan kebutuhan mereka.

Decide adalah tahapan kritikal dalam consumer journey karena di sini konsumen melakukan pengembilan keputusan pembelian. Biasanya pada tahapan ini konsumen telah mengumpulkan semua informasi terkait brand dan telah memiliki suara bulat untuk memilih satu brand yang diminati.

Experience merupakan tahapan awal dari customer safari dimana pada tahapan ini konsumen mulai mengonsumsi dan menggunakan brand. Tahapan ini tak kalah kritikal karena konsumen mulai merasakan dan mengalami langsung value yang ditawarkan brand. Kalau pengalaman yang didapatkan baik, maka ia akan terus menggunakannya. Namun sebaliknya, jika pengalamannya buruk, maka ia akan berhenti menggunakan dan mencari alternatif brand lain.

Jika konsumen puas dengan value yang ditawarkan brand, maka ia akan terus menggunakannya. Apabila kepuasan ini terus dijaga, maka ia akan terus menggunakannya dan pada suatu titik akan loyal tanpa pernah berpikir untuk pindah ke brand lain.

Ketika loyalitas terbentuk dan emotional connection antara konsumen dan brand mulai tercipta, maka ia mulai merasa “berkewajiban” untuk membagikan pengelaman baiknya kepada konsumen yang lain. Ia mulai merekomendasikan brand ke konsumen lain dan menjadi advocator bagi brand. Inilah tahapan terakhir dari consumer journey yang kami sebut: share.

“Space” vs “Screen”

Dalam melakukan perjalanan menelusuri touchpoints dari brand, konsumen menggunakan dua jenis channel yaitu fisik (“space“) dan digital (“screen“). Seperti tampak pada bagan, contoh dari channelspace” adalah: toko/kantor cabang, tenaga penjual, OOH, atau produknya sendiri. Sementara contoh channel “screen” adalah: corporate website, mobile apps, hingga media sosial.

 

Nah, setelah perjalanan konsumen bisa dipetakan, maka selanjutnya kita melakukan langkah kedua yaitu memahami perilaku dan bagaimana konsumen melakukan interaksi di masing-masing touchpoint baik di fase Discover, Consider, Research, Decide, Experience, Loyal, maupun Share. Untuk mengetahui perilaku konsumen di masing-masing touchpoint ini tentu saja dilakukan survei baik kuantitatif maupun kualitatif.

 

Proses memetakan consumer journey dan memahami perilaku konsumen di masing-masing touchpoint ini secara jelas diperlihatkan pada bagan berikut ini. Dalam contoh yang digambarkan oleh bagan tersebut, terlihat bahwa untuk fase Discover misalnya, sebagian besar konsumen menggunakan dua touchpoints yaitu corporate website (“screen“) dan toko fisik (“space“). sementara untuk Consider banyak menggunakan tiga touchpoints yaitu TV, website, dan mobile apps (tiga-tiganya “screen“).  

 

Melalui survei konsumen, kita akan bisa mengetahui di fase Research misalnya, sebagian besar konsumen ternyata mencari informasi brand dan membanding-bandingkannya dengan pesaing melalui media sosial seperti Facebook dan WA group. Dari survei pula kita akan mendapatkan insight bahwa rupanya konsumen misalnya, lebih mempercayai pendapat teman di sosial media ketimbang klaim dari brand.

Journey-Story-Activity

Setelah mengetahui perilaku dan bagaimana interaksi konsumen di tiap-tiap touchpoint, maka kita bisa memberikan pesan-pesan yang relevan dan customized sesuai dengan kondisi konsumen di touchpoints tersebut.

 

Misalnya di fase Decide dari survei diketahui bahwa sebagian konsumen bank misalnya, memutuskan pembelian di kantor cabang dengan dengan pengetahuan yang sangat dalam karena sebelumnya mereka telah membanding-bandingkan dengan produk pesaing di fase Research. Maka yang kita lakukan adalah membekali petugas customer service dan semua informasi yang ada di kantor cabang selengkap dan seditel mungkin untuk membantu konsumen mengambil keputusan.

 

Atau, apabila di fase Share ternyata ditemukan bahwa rekomendasi banyak diberikan konsumen melalui media sosial seperti WA group, maka kita harus banyak memberikan informasi-informasi mengenai keunggulan produk.

Jadi di langkah ketiga, marketers harus memberikan pesan (Story) dan kegiatan aktivasi (Activity) ke konsumen sehingga tercipta koneksi (emotional connections) antara konsumen dengan brand. Di sinilah fungsi terpenting marcomm dilakukan yaitu penyampaian pesan pemasaran dan penciptaan engemement dengan konsumen.

 

Pendekatan consumer journey dalam proses marcomm memiliki keunggulan dibandingkan cara konvensional. Pertama, pendekatan ini berorientasi customer-centric dengan terlebih dulu memetakan perilaku dan interaksi konsumen di masing-masing touchpoint.

 

Kedua, penyampaian pesan dan pengembangan program marcomm akan lebih relevan, customized, dan berasal dari customer’s point of view. Ketiga, di era digital data interaksi konsumen di masing-masing touchpoint bisa didapatkan sehingga strategi marcomm yang dijalankan lebih presisi dan bersifar fact-based.

 

Inilah ciri marcomm di era pasca pandemi. Ketika konsumen ramai-ramai melakukan migrasi digital dan data perilaku mereka di tiap-tiap touchpoint bisa dikumpulkan, maka proses marcomm bisa dilakukan secara customised (bahkan personal), relevan, fact-based, dan tentu lebih presisi dan terukur.